Tulisan ini kubuat di sela wangi pagi, di sebuah rumah di pusat kota Brebes.
Setelah beberapa jam terjebak bersama kedua sahabatku, di tengah hiruk pikuk kendaraan di jalan (yang seharusnya) bebas hambatan.
Satu pesan yang berisikan kekhawatiran gamblang ibuku menyelisip masuk dalam pikiran.
Tidak mungkin bisa diabaikan.
Dosaku ada tiga, hingga detik ini.
Pertama, agaknya memiliki sahabat yang berbeda agama membuat ibuku berpikir ulang mengenai cara beliau mendidik anak gadisnya. Terlebih karena keduanya berbeda jenis kelamin, walau mereka bersikukuh bahwa aku telah gagal dengan sukses untuk bisa disebut seorang wanita
(terima kasih ).
Kedua, keputusanku untuk mempercayai mereka hingga membawaku ke kota ini.
Ketiga, kondisiku yang hingga saat ini masih sendiri tanpa "muhrim".
Aaahhh.. Di saat pembicaraan panjang lebar mengenai teologi mengalir tanpa henti di sela perjalanan. Mempertanyakan toleransi, filosofi keagamaan, hingga kesetaraan gender.
Setelah beberapa jam terjebak bersama kedua sahabatku, di tengah hiruk pikuk kendaraan di jalan (yang seharusnya) bebas hambatan.
Satu pesan yang berisikan kekhawatiran gamblang ibuku menyelisip masuk dalam pikiran.
Tidak mungkin bisa diabaikan.
Dosaku ada tiga, hingga detik ini.
Pertama, agaknya memiliki sahabat yang berbeda agama membuat ibuku berpikir ulang mengenai cara beliau mendidik anak gadisnya. Terlebih karena keduanya berbeda jenis kelamin, walau mereka bersikukuh bahwa aku telah gagal dengan sukses untuk bisa disebut seorang wanita
(terima kasih ).
Kedua, keputusanku untuk mempercayai mereka hingga membawaku ke kota ini.
Ketiga, kondisiku yang hingga saat ini masih sendiri tanpa "muhrim".
Aaahhh.. Di saat pembicaraan panjang lebar mengenai teologi mengalir tanpa henti di sela perjalanan. Mempertanyakan toleransi, filosofi keagamaan, hingga kesetaraan gender.