Morning All,
Mendekati lebaran begini, pertanyaan yang paling ogah diladenin sama cewe seusiaku adalah, "Kapan menikah?"
Susah juga sih kalo ditanya begitu ya.. Bukannya nggak pengen juga atau gimana,
hanya saja mengingat pernikahan itu adalah sesuatu yang sakral dan pilihan sekali seumur hidup,
terkadang seorang wanita agak hati-hati dalam menentukan pilihannya.
(atau versi blak-blakan, jodohnya masih disimpan sama Allah SWT).
Dulu aku sempat bertanya, "Kenapa sih kita harus percaya sama seorang laki-laki asing yang bukan keluarga?"
People hurt each other every day, every minute, every hour.
Sudah begitu nih, di website-website yang ngomongin soal pasangan, "Kalo cewe / cowomu punya karakteristik begini begitu, jangan lepasin" dan semacamnya..
Ada fenomena kontradiktif yang terjadi di sini.
See, salah satunya,
"Kalau cowomu adalah laki-laki yang menjadikanmu yang pertama di hidupnya, jangan lepaskan dia"
"Pilihlah wanita yang tidak egois dan mau mengerti kesibukanmu."
Well sue me, aku egois dan manja. Does that mean i'll never be someone's choice?
Memang sih, variabel hubungan antar manusia itu terlampau banyak, jadi nggak bisa diambil mentah-mentah juga informasi yang beginian.
In any case, setiap orang punya kondisi pasangan ideal mereka.
Dan nggak memungkiri fakta bahwa lingkungan itu berpengaruh besar sama "tipe" kesukaan tiap orang.
Pikiran-pikiran ruwet yang nggak nyambung ini kemudian membuatku mengambil satu kesimpulan.
"Mungkin pasangan yang berhasil itu, adalah pasangan yang nggak peduli apa kata orang lain".
Peduli amat kalo emang ternyata suami kita adalah orang paling cuek sedunia,
atau si istri adalah orang yang paling rewel sedunia (By example, nenekku).
Nggak ada orang yang berhak kasih tau kita mana cowo yang pantas kita pertahankan dan yang mana yang harusnya kita tinggalkan.
Karena biar bagaimanapun, hati punya caranya sendiri untuk nggak dengerin apa kata otak.
Personally menurutku, hati adalah bagian yang paling bandel di seluruh sistem tubuh manusia.
Eniwei, lagi-lagi hidup itu tentang pilihan.
Memilih ikuti apa kata hati atau apa kata otak, itu juga termasuk salah satu bagiannya.
Kaum wanita, seringnya lebih mengikuti apa kata hatinya daripada kaum pria.
Mungkin itu salah satu alasan kenapa kesaksian dua orang wanita setara dengan satu orang laki-laki.
Balik lagi ngomongin soal nikah.
Jujur aja sirik rasanya ngeliat temen-temen yang udah pada nikah duluan..
Kalo dulu pas masih di awal umur 20an, kalo ada yang nikah mah cuek aja.
Sekarang beda lagi, pikiran "kapan giliranku" itu pasti ada di sebagian besar kepala wanita single yang dikasih kabar kalo si A bakal nikah tanggal segini.
Bener banget, kalo pertanyaan basa basi "Kapan nikah?" itu sedikit menyakiti hati orang yang benar-benar memikirkannya.
Para wanita itu juga sedang berjuang, dengan hati yang babak belur dan berdarah-darah.
Mencoba memilih satu orang yang akan menemani seumur hidup.
Kalo udah putus asa, siapapun yang datang melamar biasanya akan langsung diterima.
Cinta udah jadi urusan belakangan, dan menikah is just for the sake of getting married.
(21). وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚإِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Bahkan tanda kebesaran Allah SWT ada ketika hati ini mulai menyayangi seseorang..
Perasaan "ingin bersama", bukankah itu anugerah juga?
Dari berjuta-juta orang di dunia, beratus-ratus lelaki yang aku kenal,
aku dipertemukan dengannya, diberi kemewahan untuk saling menyayangi.
(71). فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
Maka ni`mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
Ayat ini muncul sampai 31 kali, saking sudah jadi rahasia umum bahwa manusia itu keseringan lupa bersyukur - termasuk aku juga.
Dan obrolan makin merembet kemana-mana..
Susah juga nih kehilangan tempat untuk brainstorming, jadi pikiran suka lari-larian seenaknya.
Oooh, sampe lupaa..
Tadi sudah dibahas dari segi agama kan yaa..
Mari sekarang kita kembali melenceng dan membahas dari segi sosial humaniora + psikologi.
Berawal dari pikiranku, bahwa label masyarakat Indonesia dari kategori sukses itu nggak jauh-jauh dari "Kerja di BUMN, Bank, jadi Dokter, atau kerja di Perusahaan ternama yang ada hubungannya sama keuangan, punya istri / suami yang nggak kalah prestise kerjaan dan keluarganya, cantik ato ganteng, punya mobil dan segala kehartaan lainnya"
Singkatnya, bibit bebet bobotnya musti bener.
Kalo perlu si cowo ato cewe ini harus ada keturunan keraton Jogja atau Solo.
Naahh, terus kan aku jadi mikir tuh... Sebenernya sejak kapan sih label itu ada.
Terutama yang berkaitan sama pekerjaan.
Lagi-lagi aku seenaknya bikin teorema sendiri.
Mungkin aja, itu ada hubungannya sama fakta bahwa Indonesia itu dijajah sama Belanda selama 350 tahun.
Dulu nih, orang yang jadi pegawai Belanda itu adalah orang yang disembah-sembah sama lingkungannya..
Jadilah, muncul pikiran "Oooh berarti kalo gw jadi pegawai gw bakal dihormatin orang".
Ditambah lagi rumor yang bilang kalo PNS itu duitnya banyak.
Aih.. Jadi pengusaha duitnya lebih banyak lagi sih kebetulan.
- Iya tapi kan kalo jd pengusaha sukses, kalo gagal gimana -
Nah itulah, mental-mental yang diwarisi dari keberadaan Belanda.
Sayangnya, mental yang diwarisi dari mereka nggak yang baik, malah yang buruk...
Belanda itu ngambil gadis pribumi yang cantik buat dijadikan gundik - belum lagi sifat dasar laki-laki yang emang nggak bisa nggak noleh kalo liat cewe cantik.
Hhhh.. Akhirnya semua ngumpul jadi satu dan jadilah itu istilah bibit bebet bobot.
Karena di zaman kerajaan, cuma ada dua status sosial.
Darah raja ama bukan. Rakyat biasa mah cuek aja mau nikah sama si A ato si B.
Sistem kasta ini baru muncul ketika ada Belanda.
Ada anak bupati, ada anak petinggi wilayah.
Lagi-lagi, aku nggak punya dasar teori yang cukup untuk ngomong lebih lanjut.
... Di saat seperti ini nih aku benar-benar rindu punya teman diskusi yang baik..
Selanjutnya, dari obrolan soal kerjaan ini, sampailah kita di era sekarang, yang mana sebagian besar wanita sudah bekerja sendiri untuk mencukupi kebutuhannya.
Nah terus, dari wanita-wanita independen ini, karena sudah mulai sulit mencari suami, entah dengan alasan apa, akhirnya jadi males dan bergantung sama pikiran, "Ah sendiri juga nggak apa".
Kalau menikah itu dijadikan suatu transaksi, untungnya apa buat wanita independen untuk menikah?
- Kalau menikah itu transaksi -
Buat yang pegang teguh ajaran islam, pasti udah siap ama dalil-dalil dan segala macamnya.
Eits, tunggu dulu.. Aku bukannya mau ngajakin berantem ato adu dalil.
Buat orang yang bertanya, "Emang apa gunanya menikah?" - Termasuk aku juga, sebagai pengingat.
Ada satu post di Facebook yang sangat bisa menjawab pertanyaan ini dengan nilai 100 buatku.
In a brief conversation, a man asked a woman he was pursuing the question: 'What kind of man are you looking for?'
She sat quietly for a moment before looking him in the eye & asking, 'Do you really want to know?'
Reluctantly, he said, 'Yes'.
She began to expound, 'As a woman in this day & age, I am in a position to ask a man what can you do for me that I can't do for myself? I pay my own bills. I take care of my household without the help of any man... or woman for that matter. I am in the position to ask, 'What can you bring to the table?''
The man looked at her.
Clearly he thought that she was referring to money.
She quickly corrected his thought & stated, 'I am not referring to money. I need something more. I need a man who is striving for excellence in every aspect of life.'
He sat back in his chair, folded his arms, & asked her to explain.
She said, 'I need someone who is striving for excellence mentally because I need conversation & mental stimulation. I don't need a simple-minded man. I need someone who is striving for excellence spiritually because I don't need to be unequally yoked...believers mixed with unbelievers is a recipe for disaster. I need a man who is striving for excellence financially because I don't need a financial burden. I need someone who is sensitive enough to understand what I go through as a woman, but strong enough to keep me grounded. I need someone who has integrity in dealing with relationships. Lies and game-playing are not my idea of a strong man. I need a man who is family-oriented. One who can be the leader (khalifah) and provider to the lives entrusted to him by God. I need someone whom I can respect. In order to be submissive, I must respect him. I cannot be submissive to a man who isn't taking care of his business. I have no problem being submissive...he just has to be worthy. And by the way, I am not looking for him...He will find me. He will recognize himself in me. Hey may not be able to explain the connection, but he will always be drawn to me. God made woman to be a help-mate for man. I can't help a man if he can't help himself'.
When she finished her spill, she looked at him.
He sat there with a puzzled look on his face.
He said, 'You are asking a lot.
She replied, "I'm worth a lot".
Inti dari tulisan itu adalah - yang aku tangkep - bagaimana mencari teman hidup yang baik.
Yang cocok diajak berdiskusi, yang tajam pikirannya, yang bisa jadi imam, dan lain-lain.
Menikah itu, adalah bagaimana berpartner sampai tua.
I'm still looking for my own partner, and it's worth the wait.
See you guys on my next post.
0 Comment:
Post a Comment