Friday, 16 November 2012

Moga Bunda Disayang Allah - Tere Liye



" Karang hanya mematung. Mendesis dalam hati, menyumpah-nyumpah dalam hati. Lihatlah, apakah hidup ini adil? Apakah kehidupan ini adil? Jangan-jangan hanya lelucon yang tidak lucu?"

Lagi, sebuah buku dari Tere Liye yang sanggup membuatku tertegun. Sedari aku membaca novelnya yang berjudul Rembulan di Wajahmu, hati kecilku tak pernah puas mencari karyanya.
Aneh, memang. Mengingat banyak hal yang sebenarnya tidak aku setujui yang terjadi dalam ceritanya. Tak pernah sekalipun aku mengerti, mengapa aku tertarik pada tuturan kisahnya. Atas dasar apa tanganku ini selalu bergerak untuk membaca untaian tulisannya.
Bagai seorang musafir yang kekurangan air di padang gurun, aku haus akan kata.
Aku haus akan tampar kehidupan yang bisa menyadarkanku atas arti kebahagiaan, atau makna kehidupan.

Novel ini tidak memiliki bahasa yang syahdu laiknya guratan seorang Pram.
Yang membacanya saja sudah mampu membuat kalimatnya terpatri di otakku.
Novel ini sederhana.
Mudah, namun tidak mempermudah.
Bahasa yang ia gunakan selalu menari dengan riang di kepalaku,
ibarat anak kecil yang dengan gembira mendendangkan lagu.
Aku sangat menikmati membaca tulisan ini, begitu pikirku tiap kali.

Nah, nah. Sudahlah cukup basa-basinya.
Memang aku ini orang Jawa, tak pernah bisa memulai cakap tanpa kalimat pembuka.
Sekarang, akan kubahas mengenai keistimewaan kisah ini.
Moga Bunda disayang Allah.
Di awal buku, diceritakan mengenai dua kehidupan yang berbeda.
Satu, kehidupan Bunda dan Melati.
Dua, kehidupan Karang.
Cerita bergulir silih berganti antar dua kehidupan itu. Untuk kemudian disatukan dalam benang merah yang bernama Kinasih.
Tidaklah penting siapa itu Kinasih, aku pun tak terlalu senang padanya.
Bagiku, keberadaannya malah terasa mengganggu.
Mungkin juga itu secuplik rasa cemburu karena kekagumanku pada Karang.
Yah, tapi bagaimanapun juga dialah benang merah yang menyatukan hidup Melati pada Karang.
Mau tak mau mengalah juga aku.

Melati,
Dia adalah putri tunggal dari Bunda.
yang tuli, buta, dan bisu sekaligus.

Karang,
Dia adalah pemuda yang percaya bahwa "janji kehidupan yang lebih baik selalu tergenggam di tangan anak-anak". Namun tenggelam dalam rasa bersalah yang ia timpakan pada dirinya sendiri, karena telah membunuh 18 janji kehidupan berkat kelalaiannya. Rasa bersalah itu kemudian menggerogoti Karang, menjadi seorang pemabuk yang sukses.

Mereka berdua bertemu, berjumpa. Mengukir cerita.
Terinspirasi dari sebuah kisah nyata, diceritakan disini bagaimana kehidupan mampu berjalan ke arah yang tidak pernah diduga oleh manusia.
Dijejali pula dengan pesan yang menyentuh. Mengingatkan kita bahwa Allah SWT bekerja dengan caranya sendiri.
Dengan cara yang tak pernah dapat dipahami oleh otak dangkal manusia.

"Benarlah. Jika kalian sedang bersedih, jika kalian sedang terpagut masa lalu menyakitkan, penuh penyesalan seumur hidup, salah satu obatnya adalah dengan menyadari masih banyak orang lain yang lebih sedih dan mengalami kejadian lebih menyakitkan dibandingkan kalian. ... . Itu akan membuat kita selalu meyakini : setiap satu makhluk berhak atas satu harapan."

Kesedihan karang dan kesedihan Bunda yang bertatap muka satu sama lainnya, membawa keluarga kecil mereka memahami arti hidup. dan kebahagiaan, tentulah kebahagiaan.
Putus asa, serta kesabaran yang menyertai.
Buku ini jelas mengaduk-aduk emosi pembacanya, atau minimal emosiku.
Tawa dan tangisku berada di tengah kumpulan huruf yang membentang,
menyediakan wadah untukku bercermin.
Sudahkah aku bersyukur hari ini?
Atas kemurahan hatiNya memberiku mata yang bisa melihat dengan sempurna,
telinga yang bisa mendengar tanpa cela,
atau bahkan mulut yang bisa berujar tanpa usaha.
Coba, diam dan lihat sekeliling.
Ada begitu banyak hal yang patut kusyukuri ketika aku bercermin dari Melati.
Kebahagiaan yang ia rasakan sangatlah sederhana.
Ketika ia tahu siapa tangan lembut yang selalu memapahnya,
ketika ia tahu bahwa Karang selalu menemaninya,
tanpa suara, tanpa cahaya.

Dalam suatu kesempatan, aku berpikir bahwa kisah masa lalu Karang tidak relevan dengan pesan moral mengenai hidup Melati. Namun tidak. Tidaklah begitu. Karang haruslah seorang pemabuk sukses. Karang haruslah seorang pemuda yang kasar dan membenci kehidupan.
Karena dengan begitu, kehidupan Melati menyelamatkan Karang.
karena dengan begitu, cerita ini sarat akan makna.

Tulisan ini jelas bukan resensi. Bukan pula kritisi sebuah buku.
Tulisan ini hanyalah bantuan, untukku yang sering terbelit dalam kata,
dan tak pernah bisa mengungkapkannya dalam bentuk suara.
Satu hal, tulisan itu abadi. Dan aku ingin mengabadikan perasaanku saat buku ini habis kubaca.
Perasaan aneh yang seketika sanggup membuat hatiku penuh.
Dalam kekosongan yang dengan kejam mengikis hari dalam hidupku.
Bersyukurlah, karena hanya itu yang bisa kau lakukan untuk berterima kasih pada Allah SWT.
karena hanya itu yang bisa membuatmu berharap nikmat yang ia berikan,
akan bertahan sedikit lebih lama.
karena hanya itu yang bisa membuatmu merasakan kebahagiaan.

0 Comment:

Post a Comment