Friday, 16 April 2010

Archives

Menyoal Sakralitas Sekolah

Oleh Narinta Titisari Nur W

 
YH, seorang siswa dari sebuah SMA di Yogyakarta, mengadu ke lembaga bantuan hukum untuk melaporkan anomali ketidaklulusannya (Kompas, 30 April 2010). Dinyatakan anomali karena pada dasarnya siswa itu berhasil melampaui batas kelulusan yang ditetapkan pemerintah. Namun, karena nilai C bertengger di rapor kepribadiannya, pihak sekolah menunda kelulusan siswa itu.
Memang, untuk tahun ini ujian nasional (UN) tak lagi menjadi satu-satunya penentu kelulusan. Kebijakan yang baru menyertakan juga unsur ujian sekolah, ujian praktik, budi pekerti, dan akhlak siswa.
Dua emosi yang berseberangan menyeruak masuk, yaitu tawa dan duka. Mengundang tawa karena dulu UN sempat menjadi kambing hitam tingginya angka ketidaklulusan siswa. Lalu, kini seorang siswa melapor ke lembaga bantuan hukum (LBH) bukan karena UN, melainkan akhlak dan budi pekertinya yang dinilai kurang. Inilah yang mengundang duka. Bagaimana hendak menjelaskan ada siswa berani mengadukan almamaternya ke LBH? Siapa yang gagal, pendidik, peserta didik, atau sistem pendidikan?
Munculnya kasus ini bukan tanpa pemantik. Sekolah bersikeras anak ini telah melanggar banyak sekali peraturan. Membolos dan tawur adalah argumentasi yang diberikan sekolah untuk melegalkan keputusan mereka. Argumentasi ini diamini oleh siswa yang sedang bermasalah itu.
Terhadap siswa sebengal apa pun, jiwa pendidik akan tetap merasa prihatin dan terpanggil memikirkan masa depannya. Namun, belakangan berkembang satu tren yang meluas. Banyak sekolah secara blak-blakan menempuh berbagai cara untuk mempertahankan citra. Dengan mendongkrak citra, sekolah memancing bibit atau input siswa yang baik datang pada mereka. Melalui citra kepercayaan orangtua dibangun. Citra pula yang pada gilirannya sering menentukan besaran biaya.
Jika kasus seperti di atas muncul ke permukaan, siapa yang merugi? Semua pihak tentu merugi. Siswa kehilangan salah satu pintu bagi kemungkinan masa depannya. Orangtua kehilangan kepercayaan. Sementara lembaga sekolah kehilangan citra. Kasus ini terasa janggal karena keputusan sekolah yang terkesan sepihak dan mengada-ada dalam memutuskan ketidaklulusan siswanya. Logikanya, nilai "C" berarti "cukup". Dalam ranah mana kata "cukup" itu menjadi tidak cukup mengantar seorang siswa ke gerbang kelulusan?
Dilihat dari kacamata psikologis, YH tengah berada pada fase pencarian jati diri. Dalam fase ini, lingkungan dan pergaulan sangat memengaruhi perkembangan kejiwaan. Salah satu yang menjadi alasan ketidaklulusan YH adalah keterlibatannya dalam tawuran. Bagi beberapa siswa seumurnya, tawuran adalah salah satu ajang aktualisasi diri. Saya kira tak berlebihan jika dikatakan sekolah yang siswa-siswanya sering tawuran menandakan sekolah tersebut gagal menyediakan alternatif saluran untuk aktualisasi siswanya.
Kesimpulannya, para pengurus sekolah, pendidik, dan orangtua sudah saatnya melakukan introspeksi diri baik-baik. Jika pengurus sekolah merasa siswanya belum pantas lulus, berilah alasan yang melegakan siswa dan keluarganya. Namun, jika alasan itu hanya untuk memuaskan "ego lembaga", jalur hukum memang sah ditempuh. Sementara siswa hendaknya berpikir dua kali sebelum mencoba untuk melanggar aturan yang telah dibuat sekolah. Saya percaya, aturan dibuat untuk kebaikan individu atau kelompok. Sebagai tempat yang sakral, sekolah semestinya menjadi tempat yang ideal untuk membenahi masa depan negeri ini. NARINTA TITISARI NUR WARDHANI Mahasiswa Jurusan Ilmu Matematika Fakultas MIPA UGM

Lebih lengkapnya, cek http://cetak.kompas.com/read/2010/05/07/14140243/menyoal.sakralitas.sekolah
  

2 comments:

  1. hahahahaa... iyaaa.. yah sekadar mengingatkan diri kalo dulu pernah begitu.. hmmm,, krik krik krik sama dosen KWNku..

    ReplyDelete